Thursday, June 26, 2008

KEPEMIMPINAN JAWA, WAWAN SUSETYA

Kadang orang memberikan kata minor terhadap sebuah khasanah budaya, apalagi ketika zaman baru melindas-lindas, seakan turut arus mengubur budaya. Teknologi sering didambakan, bahkan membuat seorang-orang mania terhadap teknologi, inilah sumbu lahirnya technomania. Sebuah jembatan baru, dan makna baru bagi kehidupan, ketika orang dapat menyambungkan budaya dengan temuan baru. Karena budaya mampu merawat eksistensi manusia, dan meneropong kehadiran teknologi sebagai perangkat yang meringankan beban berat manusia.
Kini ternyata teknologi diterima tanpa sebuah filter budaya, sehingga dampaknya membuat orang terlena terhadap budayanya, dan kelak akan menerima sebuah kenyataan hilangnya sebuah eksistensi hakiki.
Pola hubungan bermasyarakat juga tersentuh kehadiran teknologi, mulai pola interakasi hingga penerapan kepemimpian didalam masyarakat. Kepemimpinan berubah total, dan tidak disandarkan lagi kepada nilai-nilai kemanusian. Pola kepemimpinan seharusnya dinuansai oleh horizon humanisme, namun saat ini justru memasuki ruang dehumanisasi.
Oleh karenanya pembelajaran kepemimpinan perlu daur-ulang, ajaran kepemimpinan adiluhung dari moyang kita.
Joglo menemukan buku tentang kepemimpinan yang dikreasi dengan kemasan sederhana, namun syarat makna. Wawan Susetya kreator buku adalah seorang-orang yang berkutat dalam dunia perbukuan dan memiliki citarasa budaya Jawa dengan muatan Islamik. Buku yang dikreasi kali kini sudah melebih jari tangan plus jari kaki manusia, dan secara pelahan akan ditebarkan di altar Joglo ini. Untuk kesempatan pertama akan di kupas karyanya yang bertajuk. Kepimpinan Jawa
Detail Buku :
JUDUL : Kepemimpinan Jawa
PENULIS : Wawan Susetya
PENERBIT: Narasi. Jl. Irian Jaya D-24, Perum Nogotirto Elok II Yogyakarta 55292. Telp. [0274] 7103084.
CETAKAN: I- 2007
ISBN : 979-168-029-9
HALAMAN: 144
Buku ini syarat muatan, mulai ilmu “hasta brata” sebagai kunci sukses kepemimpinan raja-raja ketika itu, hingga sikap yang harus dijauhi sebagai seorang kesatria. “kepemipinan ala punakawan, juga dikupas tuntas dalam buku ini. Disamping itu juga dibentangkan pola kepemipinan yang dilakukan oleh Ki Hajar Dewantara, serta beberapa model kepemimpinan Metafisika Ala Kiai kholil yang menurut penulis buku ini masih dalam kawasan kepemimpinan Jawa. Tentunya tidak semua yang ada didalam buku ini akan diunduh. Kurang lebih sekitar 4 pokok pikiran yang akan dibentangkan di altar ini.
Adapun yang dibentang adalah:
  1. Lima “Dharmaning Satriya’
  2. Sikap yang seharusnya di jauhi oleh seorang kasatria:
  • adigang-adigung-adiguna,
  • sifat, nistha, dusta, .....
  • “5M” Kiat pemimpin: Mulat, Milala, Miluta, Palidarma, dan Palimarma [Fokus bahasan: “bener Kang Sejati”, “ngelmu Tuwa’, “ngelmu padi”]

MENJAUHI SIKAP “ADIGANG-ADIGUNG-ADIGUNA”
Dalam buku ini dibentangkan, ketika Sri Mangkunegara IV sebagaimana dalam Serat Wulang Reh, memberikan nasihat agar para putra-wayah-nya menjauhi sikap yang sangat arogan, yakni “adigang—adigung-adiguna
Adigang: digambarkan seperti seekor kidang [rusa] yakni yang mengandalkan kebat-lumpt [kelicahannya].
Makna dalamnya, jangan mengandalkan kedudukannya sebagai putra raja, lantas merasa berbangga diri.
Adigung: digambarkan seperti liman [gajah]; yakni mengandal kekuatan tinggi dan besarnya. Jangan mengandalkan kepandaian, “di atas langit masih ada langit”
Adiguna: digambarkan seperi sawer [ular]; yakni mengandalkan bisa-nya yang beracun dan mematikan!, Jangan mengandalkan keberanian, tetapi setelah dihadapi, ternyata ia malah cengengesan [tertawa-tawa]
………Untuk mengantisipasi hal itu, Sri Mangkunegara IV juga mewanti-wanti agar orang hidup selalu berpegang pada tiga rambu-rambu, yakni rereh [sabar, mengekang diri ], ririh [tidak tergesa-gesa, pelahan-pelahan tapi pasti], ngati-ati berhati-hati

Kemudian juga ditambahkan rambu-rambu lain, yakni:
Pertama, jangan memuji diri sendiri
Kedua, jangan mencela atau memuji orang lain secara berlebihan
Ketiga, jangan terlalu mencela atau mengkritik pekerjaan orang dan janganlah sampai ngrasani[membicarakan orang lain]

SIFAT BURUK DALAM KESEHARIAN [Seno Sastroamidjojo] (1964)
Nista; yaitu, kecenderungan akan mengarah kepada perilaku menyimpang pada kawasan nilai-nilai yang rendah atau jahat
Dusta; yaitu, berwatak tak jujur, goroh, 'panjang tangan' [suka mencuri]
Dora, yaitu sofat mengingkari atau tidak menepati janji
Drengki; yaitu, suka berdengki, tamak dan cemar, suka panas hati, acuh tak acuh
Angkara murka; berwatak jahat dan cenderung menyebarkan kepada orang lain
Candhala; yaitu selalu mengingkari kejujuran dan selalu mengingkan kepunyaan orang lain; diklaim atau diakui sebagi miliknya.

“5M” KIAT PEMIMPIN: MULAT, MILALAO, MILUTA, PALIDARMA, DAN PALIMARMA
Dalam khasanah budaya Jawa, terdapat paugeran atau rambu-rambu yang harus menjadi fokus pencermatan bagi seorang-orang yang merasa dirinya sebagau pemimpin. Paugeran itu adalah:
Mulat; (mengetahui). Bagi seorang orang pemimpin hendaknya 'mulat yakni mengetahui keberadaan atau keadaan rakyatnya dari dekat. Utamanya ketika terjadi musibah, seperti bencana penyakit, bencana alam atau lainnya.Dalam arti yang terdalam seorang-orang yang menyatakan dirinya sebagai pemimpin adalah manusia yang memiliki tingat empati yang tingg. Sifat ini juga disarankan kepada seorang guru, sehingga mengerti secara utuh segenap persoalan yang dimiliki sang murid. Mulat juga dapat diartikan kemampuan mencermati/mengamati, atau memonitor setiap dinamika perkembangan yang dimiliki rakyat.
Milala; (bombong; mem-bombong, membesarkan hati, atau memuji). Bagi seorang-orang yang menyatakan dirinya sebagai pemimpin, dan ketika melihat keadaan rakyatnya sedang dirundung malang akibat musibah atau petaka lainnya, ia harus membesarakan hati rakyatnya, memberikan semangat agar bangkit dari duka-nestapa, dan tidak larut dalam kedukaan yang terdalam. Bagi seorang guru milala identik dengan upaya memberikan motivasi agar mengalir energi potensial yang dimiliki oleh siswa. Energi ini biasanya merupakan energi yang tersimpan, manakala terdapat pematik [stimulan] dari luar, serta merta energi ini dapat dibangkitkan.
Dalam penerapannya harus dilakukan sebagai usaha sadar pembangkit, bukan sebaliknya sebagai alat untuk “ngembosi”, atau “njlomprongke” [pujian yang menjerumuskan]
Miluta, (bimbing; membimbing, menagarahkan atau menunjukkan kesalahannya]. Seorang-orang yang mengaku dirinya sebagai pemimpin, sangat ditungu-tunggu nasihatnya, sehingga rakyat akan selalu berada di rel yang benar. Demikian halnya bagi seorang guru atau orang tua; setelah bombong [membombong=memuji] anak atau siswanya, selanjutnya harus diikuti dengan bimbingan. Sehingga rakyat akan tetap terawat pada patron yang benar.
Palidarma [memberikan teladan/contoh]. Rambu-rambu palidarma dalam hal ini sudah sangat populer; yakni sebagai seorang pemimpin, orang tua atau guru, harus dapat memberikan teladan yang indah dan baik—falsafah, Ki Hadjar Dewantara “ Ing ngarsa sun tuladha"
Palimarma [memberikan maaf atau memaafkan]. Seorang pemimpin yang bijak diharapkan gampang memberikan maaf kesalahan rakyatnya. Pemimpin harus berani meminta maaf, mengaku kesalahan dikala salah. Juga bagi seorang guru, murah dan mudah memaafkan adalah bagian dari citra dirinya.

Monday, June 23, 2008

ETIKA KEKUASAAN DALAM KEBUDAYAAN JAWA

Seorang-orang Guru Besar Institut Teknologi Bandung memberikan penilaian, bahwa kecenderungan saat ini sangat bertolak belakang dengan tempo dulu, bahkan memutar 180 derajat. Dulu rintisan untuk meniti menuju sebuah Negara kebangsaan terjadi karena perbedaan entitas justru menjadi kekuatan alias daya saing. Unity in deversity, “tan hana dharma mangrua”, berbeda-beda satu tetapi jua, “bhinneka tunggal ika”.
Kini sangat jauh berbeda, justru perbedaan dikreasi menjadi bumbu perpecahan, lewat pengaduk yang namanya kekerasan.
Jamunya adalah hadirnya etika menegara. Joglo ingin mempersembahkan sebuah buku dengan judul Neo Patriotisme, karena buku ini dipenuhi mutiara bijak yang menyelimuti etika kekuasaan.
Seorang-orang bernama HM. Nasruddin Anshory, CH berkreasi dengan mendokumentasikan pokok-pokok pikiran Jawa, yang telah berakar dan mampu menjadi teori yang agung ketika mengantar kejayaan Mojopahit. Tentunya ini sebuah cerminan untuk dapat dicermati, apakah saat ini masih memiliki relevansi.
Detil Buku
JUDUL: Neo Patriotisme—Etika Kekuasaan dalam Kebudayaan Jawa
PENULIS : HM.Nasruddin ANSHORIY CH
PENERBIT : PT LKIS Yogyakarta Salakan Baru No. 1 Sewon Bantul. Jl. Parang Tritis Km, 4.4. Yogyakarta. Telp: [0274] 387194, 7472110. E-mail: elkis@indosat.net.id
CETAKAN: I Mei 2008
HALAMAN: xviii + 222 halaman; 21 x 14,5 cm
ISBN: 978-979-1283-670
Gajah mada mengamalkan ajaran Prabu Arjuns Sasrabahu dalam pewayangan yang merumuskan kepemimpinan yang dikenal dengan panca titi darmaning prabu atau lima kewajiban sang pemimpin, yang terdiri dari:
  1. Handayani Hanyakra Purana
    Seorang pemimpin senantiasa memberikan dorongan motivasi, dan kesempatan bagai generasi mudanya atau anggotanya untuk melangkah ke depan tanpa ragu-ragu
  2. Nadya Hanyakrabawa
    Seorang pemimpin di tengah-tengah masyarakatnya senantisa berkonsilidasi memberikan bimbingan dan mengambil keputusan dengan musyawarah untuk mufakat yang mengutamakan kepentingan masyarakat.
  3. Ngarsa Hanyakrabawa
    Seorang pemimpin sebagai seorang yang terdepan dan terpandang senantiasa memberikan panutan-panutan yang baik sehingga dapat dijadikan suri teladan bagi masyarakatnya
  4. Nir bala wikara
    Seorang pemimpin tidaklah selalu menggunkan kekuatan atau kekuasaan di dalam mengalahkan musuh-musuh atau saingan politiknya, Meskipun demikian, berusaha menggunakan pendekatan pikiran, lobi sehuingga dapat menyadarkan dan disegani pesaing-peasainnya.
  5. Ngarsa dana upaya
    Pemimpin sebagai seorang ksatria senantiasa berada terdepan dalam mengorbankan tenaga, waktu, materi, pikiran, bahkan jiwanya sekalipun untuk kesejahteraan dan kelangsungan hidup masyarakat.

KAMULYANING NERPATI CATUR
Kamulyaning Nerpati Catur adalah empat sifat utama bagi seorang pemimpin/negarawan, yaitu:

  1. Jalma Sulaksana:
    Seorang pemimpin hendaknya memiliki.menguasai ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan dan teknologi, ilmu pengetahuan agama atau spitual secara teori dan praktik
  2. Praja sulaksana:
    Mempunyai perasaan belas kasihan kepada bawahan/rakyat dan berusaha mengadakan perbaikan kondisi masyarakat [catur paramita: maitiri, karuna, mudita, dan upeksa]
  3. Wiya Sulaksana:
    Mempunyai keberanian untuk meneggakan kebenaran dan keadilan dengan prinsip berani karena benar dan takut karena salah
  4. Wibawa Sulaksana:
    Memiliki kewibawaan terhadap bawahan/rakyat sehingga setiap perintahnya dapat dilaksanakan dan program, yang direncanakan dapat terrealisasi.

Dengan permintaan maaf, joglo tetap menjujung paugeran bahwa posting tidak dapat dilakukan semua (100%), karena akan melanggar etika karya.
CATUR PRAJA WICAKSANA
Catur Praja Wicaksana adalah empat sifat dan tindakan yang bijaksa yang hendaknya dilakukan oleh seorang pemimpin negarawan, yaitu:

  1. Sama
    Selalu waspada dan siap siaga untuk menghadapi segala ancaman musuh baik yang dating dari dalam mamun dari luar yang merong-rong kewibawaan pemimpin yang sah
  2. Beda
    Memberikan perlakukan hokum/peraturan bagi bawahan/rakyat sehingga tercipta kedisiplinan dan tata tertib dalam masyarakat [penegakan supremasi hukum]
  3. Dana
    Mengutamakan sandang, pangan, pendidikan, dan papan guna menunjang kesejahteraan/kemakmuran bawahan/rakyat serta memberikan penghargaan bagi warga yang berprestasi. Memberikan upah/gaji bagi para pekerja sebagai bals jasa dari pekerjaan yang dibebankan sesuai dengan peraturan yang berlaku agar dapat mencukupi kehidupan keluarga
  4. Danda
    Menghukum dengan adil kepada semua yang berbuat salah/melanggar hokum sesuai dengan tingkat kesalahan yang diperbuatnya

SAD GUNA UPYA

Sad Guna Upaya berarti enam macam upya luhur yang harus dikuasai oleh seorang pemimpin. Ajaran ini terdapat dalam serta Niti Sastra yang memuat beberapa hal berikut:

  1. Sidi wasesa
    Pemimpin harus mempunyai kemampuan untuk menjalin persahabatan dengan rakyat, sesama, dan Negara tetangga
  2. Wigraha Wasesa
    Kemampuan untuk memilah-milah persoalan dan mampu untuk mempertahankan hubungan baik
  3. Wibawa Wasesa
    Pemimpin memliki kewibawaan atau disegani baik oleh rakyat, Negara tetangga, maupun musuh-musuhnya
  4. Winarya Wasesa
    Cakap dan bijak dalam mempin sehingga memuaskan semua pihak
  5. Gasraya Wasesa
    Kemampuan untuk menghadapi mmusuh yang kuat dan tangguh dengan menggunkan startegi/muslihat dalam berdeplomasi atau perang
  6. Stana Wasesa
    Dapat menjaga hubungan dan perdamaian dengan baik dan memprioritaskan tentaranya untuk menjaga kedaulatan negra dan menjaga perdamaian serta menghindari peperangan.

Masih banyak khasanah kebudayaan yang dijadikan cermin, dan tidak mungkin kami muat secara lengkap, untuk memenuhi etika joglo ini, yang tidak ingin menjadi pencundang bagi penerbit maupun penulisnya.

Kahsanah budaya itu antara lain:

  • Panca Tata Upaya [lima macam upaya yang harus dilakukan seorang birokrat dalam menyelesaikan segenap persoalan] (maya tata upaya, upeksa tata upaya, indera jala wisaya, wikrama wisaya, lokika wisaya)
  • Tri Jana Upaya [tiga macam cara/upaya bagi seorang pemimpin untuk menghubungkan atau mendekatkan dirin dengan masyarakat yang dipimpin (rupa upaya, wamsa upaya, guna upaya)
  • Ajaran Sad Guna weweka [terdapatenam macam musuh di dalam diri manusia yang harus dihilangkan dan dimusnahkan] ( kama/hawa nafsu, loba/tamak-rakus, kroda/marah, moha/kebingungan, mada/mabuk, masarya/ irihati)
  • Sad paramuka [prinsip kesucian Gajah Mada, dalam melihat perilaku enam pembunuhan yang kejam] ( Agnida /suka membakar milik orang lain, wisada/suka meracun, atarwa/menggunkan ilmu hitam, sastraghna/mengamuk, dratikrama/suka memperkosa, raja pisuna /suka menfitnah)

Warto Selaras

Google