Wednesday, November 26, 2008

THE 7 HABITS OF HIGHLY EFFECTIVE PEOPLE VERSI SEMAR & PANDAWA

Sebuah refleksi yang melihat dari dimensi "Semar & Pandawa", untuk menggrekan manusia dalam tujuan-tujuan yang efektif, dan efisien. Melalui cerminan tokoh Semar dan Pandawa orang dapat digerakkan kepada sebuah idealisasi pencapian tujuan, tanpa merasa tertekan. Karena melalui tokoh-tokoh itu secara tidak langsung akan terbangun sebuah etos yang diliputi oleh citarasa kearifan.
Data buku
JUDUL: The 7 Habits og Highly Effective People Versi Semar dan Pandawa
PENULIS: Pitoyo Amrih
PENERBIT: Pinus Book Publisher. Jl. Tegal Melati No.118 C Jongkang [Belakang Monjali] Sleman, Yogyakarta 55581. Telp. Redaksi [0274] 867646. E-mail: rumahpinus@yahoo.com
ISBN: 979-99014-9-9
CETAKAN: I-Januari 2008
TEBAL: 140 x 120 mm, 227 hlm
Web-PENULIS: http://duniawayang.pitoyo.com/

CERMIN RETAK BUDAYA BANGSA--REFLEKSI VIA PENDEKATAN BUDAYA JAWA


Pemahaman yang keliru kini justru marak, dan secara tidak terasa telah mendarah daging, misalnya seorang-orang mengartikan modernitas. Kini makna modernitas telah dijadikan jargon untuk mengganti sesuatu yang dianggap "lama", maka modernitas cenderung dipakai untuk menggilas apa saja yang dianggap lama. Tradisi yang tumbuh di masa lalu, termasuk nilai-nilai budaya yang telah lama ada, tanpa ampun tergilas oleh kesalahan memaknai nilai modernitas. Kekeliruan pemaknaan itu sekaligus memberikan stigma negatif kepada siapa saja yang tetap mempertahankan nilai tradisi dan budaya. Indikasi fisik telah menunjukkan kepada kita, bahwa bentuk bangunan rumah yang ada di Jawa, juga terinfeksi oleh pemaknaan itu. Kini bentuk bangunan rumah Jawa sulit diketemukan, apakah bentuk Joglo, atau pun limas, telah terlibas. Dulu di daerah pedesaan, jenis rumah Jawa seperti Joglo, dan limasan, masih bertebaran, kini yang kita jumpai justru berbalik. Rumah dengan model/ornamen bergaya Spanyol, Amerika, atau Eropa, sangat mewarna, dan orang merasa sangat ketinggalan, atau mungkin disebut kurang gaul, jika mempertahankan bentuk rumah yang mentradisi.


Perilaku orangpun juga berubah secara dratis, kini orang telah meninggalkan tardisinya, dan kini juga kehilangan karakternya. Tradisi adat Jawa-seperti selapan, atau tedhak siten pada upacara kelahiran, siraman atau midodareni pada upacara perkawinan, atau pendhak sepisan, nyewu pada upacara kematian--sudah mulai banyak ditinggalkan atau dilupakan.


Seorang-orang bernama H. Soemarno Soedarsono dalam sebuah kolom opini Harian Kompas yang berjudul Jati diri Bangsa yang menyoroti konsep jati diri dari perspektif etika moral, yaitu hati nurani. Soedarsono menulis kata-kata bijak untuk menekankan tentang bahaya hilangnya jati diri ini. "When character is lost, everything is lost".

Kata bijak ini ternyata merupakan energi bagi tiga orang wanita yang membidani lahirnya buku ini. Masing-masing; Dra. M.Y. Dwi Hayu Agustini MBA,- Ir.M.I. Retno Susilorini, MT- dan Yovita Indrayati, SH.,M.Hum. Ketiganya adalah pengabdi pada Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Keprihatinannya melihat realitas bias dalam budaya bangsa, menggetarkan naluri tulis menulis, maka melalui pencermatannya dengan merefleksikanbudaya Jawa-meneropong retak-ratak buadaya. Dengan cermat, ketiga wanita ini menengarai, bahwa budaya Jawa mulai ditinggalkan. Keprihatinan ini nampaknya cukup beralasan, karena indikasinya nampak jelas.

Indikasi itu adalah:

  • Gadis Jawa sudah tidak lagi "gandhes luwes" [lemah gemulai], orang Jawa yang halus budi bahasanya sudah menjadi "brangasan", orang Jawa yang dikenal suka menolong sudah mulai "egois" dengan kehidupan pribadinya
  • Memperingati usia dalam satuan windu [delapan tahun], kini sudah tidak terdengar lagi. Peristiwa ini dulu dinamakan "windon", dimana untuk windu pertama atau sewindu, diperingati dengan mengadakan slametan bubur warna merah-putih dan nasi tumpeng yang diberi 8 telur ayam rebus sebagai lambang usia. Peringatan ini harus dilakukan sehari atau dua hari setelah hari kelahiran yang diyakini agar usia lebih panjang. Pada saat dua windu, si anak sudah dianggap remaja/perjaka/jaka, suaranya ngagor-agori [memberat]. Perayaan saat 32 tahun atau empat windu dinamakan "tumbuk alit". Dan ketika ulang tahun ke 64 tahun disebut "tumbuk ageng". Kini semuanya telah hilang, jika tidak dikatakan punah

Data buku:

JUDUL: Cermin Retak Budaya Bangsa--Sebuah refleksi dengan pendekatan budaya jawa

PENULIS: Dra. M.Y. Dwi Hayu Agustini = Ir. M.I. Retno Susilorini, MT. = Yovita Indrayati, SH., M.Hum

PENERBIT: Universitas Atma jaya Yogyakarta. Jl. Babarsari No. 44. Kotakl Pos 1086. Telp. 0274-487711. Yogyakarta 55281

ISBN: 979-9243-79-3

CETAKAN: Pertama 2007


Thursday, November 20, 2008

TRADISI RUWATAN

Tradisi ruwatan itu sesungguhnya sudah lama ada di Jawa, hingga saat ini masih kerap dilakukan bahkan sudah mendarah daging. Setiap problematika kehidupan yang muncul dan membutuhkan solusi, ruwatan selalu dirujuk untuk mengatasi. Buku ini mendokumentasikan apa dan mengapa ruwatan itu, yang jelas buku ini ikut "nguri-uri" khasanah budaya Jawa.
Semacam garis tangan saja, bahwa selama ini hanya buku yang masih mampu menjaga kelestarian apa budaya, dan kali ini ingin diwujudkan oleh Ragil Pamungkas, melalui penerbit Narasi.
Dalam buku ini mengurai mulai latar belakang, tujuan dan "ubo-rampe" -- sarana-sarana yang dibutuhkan. Kuatnya daya magis dan mistisnya sangat lekat, juga didukung dengan mitos-mitos, sehingga seakan menghadirkan "energi maya" yang sangat potensial menguatkan motivasi dan keyakinan setiap orang yang melakukan ritual ruwatan ini. Para Dewata, atau Bethara, dalam ritual ini diperankan sebagai energi yang mampu mengurai segenap problema, atau masalah-masalah yang menghadirkan aral, atau pun sial.
Melalui kalkulasi hitungan "pasaran" dijadikanlah sebagai alat menerawang pilihan-pilihan simbolisasi sebagai motivasi ritual, berikut sarat-sarat yang akan diadaptasikan.
Kendati banyak orang yang enggan meninggalkan tradisi ini, namun jika tidak diberangi dengan kemauan pelestarian, kemungkinan akan membuat bias pelaksanaan, atau menyimpang jauh dari tradisi aslinya.
Data buku
JUDUL: Tradisi Ruwatan- Misteri Di Balik Ruwatan
PENULIS: Ragil Pamungkas
PENERBIT: NArasi Jl. Irian Jaya D-24 Perum Nogotirto II Yogyakarta 55292. Telp.0274-7103084
ISBN[13]:978-979-168-107-0
ISBN[10]:979-168-107-4
CETAKAN: Pertama 2008
TEBAL: vii-99 hlm

Tuesday, November 11, 2008

BUDI PEKERTI LUHUR


Kehadiran pembelajaran Budi Pekerti Luhur saat ini sangat dinanti, kemajuan berbagai dimensi kemajuan teknologi, seakan membelah dunia dengan cepat dan sarwa mudah. Dampaknya tentunya lebih dahsyat, yakni banyak orang kehilangan jatidirinya. [buku mengistilahkan wong Jawa ilang jawane]. Pengaruh ini merasuk dengan halus, kedalam pola pikir pola laku dan pola tindak anak manusia. Percepatanya sulit diukur, namun akibatnya langsung bisa dilihat.
Berbuat dosa sudah tidak tabu, korupsi justru menjadi kebanggaan, bahkan orang lebih memilih menjadi pecundang ketimbang jadi pahlawan. Buku ini mengkritisi, dan tidak hanya mengkritisi tapi sekalian memberikan solusi.
Sebenarnya untuk mengatasi hal ini bukan persoalan yang sulit, jika seorang-orang mampu menguri-uri budaya Jawa, [me-maintenance] atau merawat.
Hanya budaya yang mampu menjadi obat penawar yang "ces-pleng" dengan tingkat kemanjuran yang signifikan.
Buku ini merupakan "bekti" dari seorang-orang yang telah melakukan perenungan dan refleksi pemikiran selama kurang lebih 40 tahun, dan hasilnya akan dijadikan sebagai solusi.
Data Buku:
JUDUL: Budi Pekerti Luhur--Satu Dasar Meraih Kebahagiaan Hidup Sesudah Mati
PENULIS: TjarokoHP Teguh Pranoto
PENERBIT: Kuntul Press Gombang [Depan Puskesmas], Tirtoadi, Mlati, Sleman, Yogyakarta
HP. 08175423046
ISBN: 978-979-16502-36
CETAKAN: I, 2009
TEBAL: 148 hm, 14 x 20 cm

SARING-Sadapan Ringkas
Menurut buku ini dasar-dasar piwulang budi pekerti luhur itu antara lain:

  1. Aja dumeh, eling lan waspada, ini adalah hal yang paling mendasar dalam mengarungi lautan kehidupan agar senantiasa selamat, sehingga dapat sampai ke pantai harapan dengan baik, benar dan selamat sejahtera atau rahayu.
  2. Aja adigang, adigung, adiguna artinya adalah jangan membanggakan diri sendiri akan kemampuannya atau hal yang dimilikinya. alam cerita silat selalu dikatakan bahwa di atas langit mash ada langit, maksudnya adalah agar kita selalu bercermin diri, bahwa selalu saja ada yang melebihi kita karena manusia itu pada dasarnya memiliki keterbatasan
  3. Aja aji mumpung sing oa apik, Aji mumpung ada dua yaitu aji mumpung dalam arti posistif dan aji mupung dalam arti negatif. Aji mumpung negatif adalah memanfaatkan kedudukan atau peran untuk kepentingan negatif, atau kepentingan individu. Aji mumpung posistif, adalah pola sikap yang bagus, adil bijaksana, dan dlakukan dalam dirinya ketika mendapatkan kepercayaan
  4. Ambek angara murka, makna dari ungkapan ini adalah mengendalikan sifat nafsu angkara murka
  5. Ajining diri gumantung ana ing lathi, artinya bahwa harga diri kita itu sangat dipengaruhi dari dari ucapan kita. Menjaga pembicaraan kita agar pada rel yang benar.
  6. Abot lan enteng saka pangawene dewe. Bahwa berat ringanya kehidupan diri kita sangat diengaruhi oleh apa yang kita perbuat
  7. Becik ketitik ala ketara, kemanapun orang itu bersembunyi, jika dalam berperilaku mengedepankan kebaikkan atau sebaliknya orang lain akan mengetahui
  8. Desa mawa tata negara mawa cara, karena setiap keadaan memiliki kuantitas dan kualitas yang unik, maka manusia dalam berperilaku harus memilki daya adaptasi yang tinggi. Tepa selira atau bisa rumangsa
  9. .......masih banyak lagi maaf tidak dikupas tuntas...


Monday, November 10, 2008

MAKLUMAT BAHAGIA [Kaweruh Begja]: Ki Ageng Suryamentaram

Kaweruh begja, untuk memahami makna terdalam dari kebahagiaan orang tidak serta merta langsung paham apalagi "ces-pleng", semuanya melalui tahapan-tahapan istimewa. Tahapan ini pernah ditilik oleh seorang-orang yang piawai, dan kemudian hasil tilikan itu di wujudkan dalam tulisan, sebagian dari tilikan itu saat ini berwujud buku, yang dieberi judul"Kawruh Begja", orang juga sering menyebut, bahwa menggapai "Kawruh Begja" itu harus dilatari dengan perenungan-perenungan. Banyak pula yang mengatakan harus acapkali melakukan refleksi. Saat ini kita sedang menikmati hasil refleksi Ki Ageng Suryamentaram. Sebuah buku yang memposisikan dirinya sebagai bacaan penenang jiwa, warisan budaya leluhur.
SIAPA KI AGENG SURYAMENTARAM ITU?
Ketika usia remaja bernama Bendara Pangeran Harya Suryamentaram, dan memiliki kegemaran membaca dan belajar, terutama tentang sejarah, filsafat,ilmu jiwa dan Agama. Penguasaan bahasanya cukup lumayan, Belanda, Inggris dan Bahasa Arab. Konon juga pernah belajar mengaji pada KH. qchmad Dahlan pendiri oraganisasi Muhammadiyah.
Berdarah biru, dan akhirnya memutuskan untuk hidup diluar keraton, yang akhirnya menemukan jatidirinya.

Pengembaraan Batin
Sebuah laku, mengantarkan sang pangeran ini mengapai beberapa pengetahuan dari hasil refleksi pikiran. Dari refleksi ini pikiran pangeran Suryamentaran diarahkan secara tuntas pada pemahaman sebuah kebahagiaan sejati, namun untuk memahakan itu, menurutnya ada sebuah "getaran hasrat dalam arti luas ", yang disebut dengan "karep". Untuk sampai pada sebuah pemahaman kebahagiaan itu, seorang-orang harus menangkap dahulu makna getaran hasrat yang disebut karep.
Sejak awal buku ini telah memperingatkan khalayak bacanya untuk tidak langsung menerima buah pikir ini secara absolut, namun lebih diharapkan untuk melakukan penggalian lebih lanjut, apa makna yang tersembunyi dari getaran hasrat yang disebut "karep itu"? kemudian baru lengkah pada tataran tentang kebahagiaan Abadi
Data buku
JUDUL: Maklumat Bahagia--Kawruh Begja--Ilmu menggapai Kebahagian Sejati
PENULIS: KI Ageng Suryameteram
PENERBIT: Gelombang Pasang . Gombang [Depan Puskesmas], Tirtonadi, Mlati Sleman, Yogyakarta. HP. 08175423046
ISBN: 978-979-98385-7-5
CETAKAN : I-2008
TEBAL: 132; 12 x 19 cm
[Catatan: Judu;l Asli Inwijding tot het eenwigdurende geluk, 1930]

SARING-Sadapan Ringkas.

Karep:
Karep adalah sebuah kosakata berasal dari Bahasa Jawa yang beararti "getar hasrat untuk melakukan suatu perbuatan dengan penuh kesadaran dan berdasarkan pertimbangan batin terlebih dahulu". Kata-kata yang serupa dengan kata tersebut adalah kehendak atau menghendaki, niat atau berniat, keinginan atau berkeinginan, rindu atau merindukan sesuatu, cita-cita atau bercita-cita, hasrat atau berhasrat, berhajat, bernafsu pada sesuatu, mengidam-idankan dan sebagainya. Orang Jawa mempunyai sepatah kata saja sebagai pengganti berbagai bentuk tadi yaitu : karep [getar hasrat].
Karep inilah yang menggerakkan [drive] manusia dalam menggapai sesuatu. Kendatipun sebagai penggerak, buku ini membuat terminolog yang lebih khusus, bahwa karep juga memiliki keterbatasan alias ketergantungan, namun juga ada karep yang babas dan tidak tergantung.
Dalam menggapai kebahagiaan karep menjadi sebuah variabel, oleh karenanya jika seorang-orang itu sangat tergantung atau dikontrol oleh karep cenderung memiliki keinginan yang tidak terbatas [unlimited]. Sedangkan orang yang mampu mengontrol /mengendalikan, maka dalam menggapai kebahagian menemukan yang hakiki. Seorang-orang semakin dikendalikan oleh karep, seorang-orang akan bekerja dengan lupa diri dan lupa waktu. Atau jauh dari kebahagiaan.

Takaran Suka dan Duka
Suka dan Duka itu tidak pernah melekat permanen pada manusia, selalu berubah spektrumnya
Suka adalah merupakan akibat atau disebabkan oleh tidak terlaksananya karep [getar hasrat]
Duka adalah merupakan akibat atau disebabkan oleh tidak terlaksananya atau tidak terpuaskannya karep [getar hasrat].
Karep [getar hasrat] ada berdaarkan sifat kerjanya sendiri, yaitu : mengerut[menyusut] dan memulurkan [mengembang atau bertambah panjang].
Setiap kali karep [getar hasrat] memperoleh kepuasan, mulurlah [memanjang] ia, dan oleh karananya manusia dapat merasakan suka. Kemuluran [memanjangnya] karep [getar hasrat] ini berlaku secara terus menerus, selalu semakin panjang, bertingkat-tingakt, senantiasa demikian asalkan masih dapat memperoleh kepuasan. Setelah karep [getar hasrat] tidak mendapat kepuasan, segera ia mengkerut atau menjadi pendek, dan menyebabkan manusia menjadi duka.
Takdir hidup manusia hanyalah berupa merasakan suka dan duka, bukan hal lain. Sedangkan suka dan duka adalah sama.

Sunday, November 9, 2008

Wayang itu di dalamnya sarat makna, bukan hanya hasil kreasi budaya, namun kandungan filsafati yang tinggi, bahkan mengandung energi optima yang seakan-akan menjadi daya bangkit motivasi yang tinggi. Dari wayang banyak pula pembelajaran, memang sesungguhnya wayang lahir sebagai latar atau stadion yang amat luas untuk melakukan olah pikir sekaligus olah batin. Tokoh-tokoh wayang acapkali diambil sibagai simbul atau jargon-jargon, dan tidak jarang orang dalam berperilaku dituntun seolah-olah sama dang sebangun dengan perwatakan wayang itu sendiri. Tidak ada yang salah, karena dalam wayang tersimpan ratusan model perwatakan manusia.
Ruang gerak, waktu, kuantita, kualita acapkali digambarkan oleh tokoh wayang, dan semuanya tersedia, manusia tinggal mengambil sebagai master untuk patron dalam berperilaku.
Seperti tokoh Semar, bagaikan samudra batin, didalam perwatakannya mengambarkan keluhuran, disamping besarnya sebuah pengorbanan diri [lelabuh], dan kuatnya pengabdian [ sebagai pamong]......
Saat ini Semar akan di bahas singkat terkait dengan jati dirinya, dan dikait dengan filsafat Ketuhanan, yang orang sering memadukan hati sebagai tempat bersemayamnya nur ilahi, akhirnya berbentuk manunggalnya dalam diri, dalam ranah manunggaling kawula lan gusti.
Data Buku
JUDUL : Semar & Filsafat Ketuhanan
PENULIS: Samsunu Yuli Nugroho
PENERBIT: Gelombang Pasang Perum Pertamina S 17 Kalasan Yogyakarta. Telp. 081-7542-3042
ISBN: 979-98385-7-6
CETAKAN: Pertama 2005
TEBAL: 142.
SARING- Sadapan Ringkas.
Buku ini merupaka karya akademik yang diangkat dari skripsi. Tentunya yang tersaji adalah sari patinya, sehingga kesan karya ilmiah tidak terlalu nampak disini.
Semar sebagai tokoh dicandra dari berbagai dimensi, mulai dari penokohan hingga sebagai bahan rujukan dalam berperilaku.
Menurut buku ini, cerita pewayanan berisi ajaran yang dapat digunakan sebagai pegangan serta teladan misalnya tentang Ketuhanan, filsafat moral, kepahlawanan, kenegaraan dan cita-cita hidup. Semar sebagai tokoh dalam pewayang seringkali ditokohkan yang kerap memberikan pembelajaran hidup, kendati seorang "batur" [pembantu], namun pola tindak dan pola lakunya penuh dengan ajaran Ketuhanan dan filsafat moral.
Dari melihat sosok Semar ini manusia diajak merenungkan hidupnya sendiri, seperti "Sangkan paraning dumadi" dan bagaimana menghadapi kehidupan dunia yang sangat singkat.

FIGUR PANAKAWAN
Figur panakawan SEmar didalam dirinya terjandung suatu bentuk konsepsi atau bahasa lambang dan sifat-sifat, nama-nama dan aspek ketuhanan yang terkandung dalam figur tokoh panakawan Semar, maka tokoh Semar dapat dipandang dari beberapa perspektif kepercayaan dan agama yang ada di Indonesia [jawa].
Pada hakikatnya pengertian "panakawan", berasala dari kata "pana",: cerdas, jelas, terang sekali atau cermat dalam pengamatan. "kawan" : teman. Jadi panakawan bearti teman/pamong yang sangat [pana] cerdik sekali, dapat dipercaya serta mempunayi pandangan yang luas dan pengamatan yang tajam dan cermat. Tegasnya adalah pamong atau orang kepercayaan yang dapat tanggap in sasmita dan limpad pasang ing grahita --[Sri Mulyono, 1989;68]
Adapun tingkah laku dan tindakan lahiriah panakawan berfungsi sebagai:
  1. Penasihat atau cahaya tuntutnan pada waktu staria dalam kesukaran/kebingungan dan kegelapan
  2. Penyemangat pada waktu satriya dalam keadaan putus asa
  3. Penyelamat pada waktu satriya dalam keadaan bahaya
  4. Pencegah pada waktu satriya dalam nafsu/emosional
  5. Teman pada waktu satriya kesepian
  6. Penyembuh pada waktu satriya dalam keadaan sakit
  7. Penghibur pada waktu satriya dalam keadaan kesusahan
SEMAR YANG MENJUJUNG HARMONI:
Semar sebagai figur yang menjunjung tinggi harmoni pada jalur mendatar [horizontal/social] dan jalur vertical religius. Kata kunci utuk kedua harmoni mendatar atau sosial, Kawulo-Gusti menjadi penghubung yang selaras antara rakyat dan pemimpin. Pelanggaran terhadap harmoni timbulah gara-gara.
Gara-gara adalah momentum disharmoni alam dan menusia yang memerlukan suatu kekuatan untuk meredakannya. Gara-gara merupakan peristiwa alam dalam keadaan chaos atau kacau balau.
Darmajati Supanjar [1993 : 219] mengatakan bahwa alam akan chaos /kacau diperlukan campur tangan dari tingkat setinggi-tingginya, yaitu Tuhan, melalui "Semar"
Pemunculan figur Semar dalam peristiwa gara-gara membawa keadaan dunia dalam alam semesta menjadi tenang, damai seperti sedia kala. Figur semar dalam hal ini diharapkan kehadirannya sebagai pengayom dunia dan kehancuran dan kerusakan.


SEBUTAN DIRI SEMAR
Adapun makna nama dan sebutan yang melekat pada figur Semar antara lain:

  1. Semar berati Samar [ghaib] tak dapat dijangkau akan [trancendent]. Semar berasal dari kata "sengsem marang kang samara" dapat disalurkan cinta kepda kang ghaib [Allah] yang dijelmakan lewat ibadah asma-Nya [Poejosoebroto, 1975; 46]. Semar juga berasal dari kata "Sar" berarti sesuatu yang memancarkan cahaya [dewa cahaya] atau sebagai sumber cahaya
  2. Semar memilki sebutan Badranaya yang artinya cahaya tuntnan atau tuntunan sejati atau nurnaya atau nur cahaya. Menurut Poejosoebroto [1975;51] Badra berarti kebahagiaan, berarti kesejahteraan, sedangkan naya berarti kebijakan politik. Badranaya berarti politik kebijakansanaan,kebijaksanaan yang menuju kebahagiaan dan kesejahteraan.
  3. Jnana Badra berati caha ilmu pengetahuan. Jnana berarti ilmu pengetahuan, sedangkan Bhadra berarti bulan atau cahaya atau sinar. Jadi Jnana Bhadra berarti sinar ilmu pengetahuan
  4. Maya berarti kesaktian brahmana, "kesaktian sunya" dan maya sendiri tak tampak atau "tan kasat mata". Jadi maya itu adalah maya, tetapi juga berarti sakti
  5. Janggan, Kyai, Kakang adalah sebutan untuk ulama atau orang yang dihormati
  6. Asmara, berarti cinta kasih,phylotes atau [dalam tasawuf] sama dengan Mahabbah, tingkat di atas ma'rifat
  7. Santa, berati suci, jadi asmarasanta berati cinta kasih yang suci
  8. Duda manang-manung, berarti bukan laki-laki, bukan wanita juga bukan banci. Tidak mempunyai dunung [tempat tinggal] tetapi berada di mana-mana [immanent] tidak beranak, tetapi diikuti "anak" [Gandarwa Bausasra]. Pendek kata tak ada yang sama dengan apapun [tan keno kinoyo ngopo]
  9. Cahya Buana, berarti cahaya bumi, langit dan seisinya.
......Masih sarat makna, dan maaf tidak di kupas tuntas.......



Warto Selaras

Google